Selasa, 10 November 2009

Modernisasi Sistem Peradilan Pidana

Pendahuluan
Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum[1]. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar system hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Dengan demikian tinjauan perkembangan hukum difokuskan pada hubungan timbal balik antara diferensiasi hukum dengan diferensiasi sosial yang dimungkinkan untuk menggarap kembali peraturan-peraturan, kemampuan membentuk hukum, keadilan dan institusi penegak hukum. Diferensiasi itu sendiri merupakan ciri yang melekat pada masyarakat yang tengah mengalami perkembangan[2].

Melalui diferensiasi ini suatu masyarakat terurai ke dalam bidang spesialisasi yang masing-masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan yang otonom.
Perkembangan demikian ini menyebabkan susunan masyarakat menjadi semakin komplek. Dengan diferensiasi dimungkinkan untuk menimbulkan daya adaptasi masyarakat yang lebih besar terhadap lingkungannya.

Sebagai salah satu sub-sistem dalam masyarakat, hukum tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi masyarakat. Hukum disamping mempunyai kepentingan sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat terikat pada bahan-bahan yang disediakan oleh masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di sekelilingnya.[3]



Menurut Wolfgang Friedmann[4] perubahan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah meliputi perubahan hukum tidak tertulis (common law), perubahan di dalam menafsirkan hukum perundang-undangan, perubahan konsepsi mengenai hak milik umpamanya dalam masyarakat industri moderen, perubahan pembatasan hak milik yang bersifat publik, perubahan fungsi dari perjanjian kontrak, peralihan tanggung jawab dari tuntutan ganti rugi ke ansuransi, perubahan dalam jangkauan ruang lingkup hukum internasional dan perubahan-perubahan lain.
Untuk melihat hubungan antara hukum dan perubahan sosial perlu sebuah alat dalam bentuk konsep yang menjelaskan secara fungsional tempat hukum dalam masyarakat. Alat tersebut menunjukkan pekerjaan hukum sebagai 1)merumuskan hubungan antara anggota masyarakat dengan menentukan perbautan yang dilarang dan yang boleh dilakukan; 2) mengalokasikan dan mnegaskan siapa yang boleh menggunakan kekuasaan, atas siapa dan bagaimana prosedurnya serta 3)mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala terjadi perubahan[5]



Apabila hukum itu dipakai dalam arti suatu bentuk karya manusia tertentu dalam rangka mengatur kehidupannya, maka dapat dijumpai dalam berbagai lambang. Diantara lambang tersebut yang paling tegas dan terperinci mengutarakan isinya adalah bentuk tertulis atau dalam lebih sering dikenal dengan bentuk sistem hukum formal[6].

Segi yang menandai bentuk yang demikian adalah terdapatnya kepastian dalam norman-normanya dan segi yang lainnya adalah kekakuan. Kepastian hukum memang banyak disebabkan karena sifat kekakuan bentuk pengaturan ini dan gilirannya menyebabkan timbulnya keadaan yang lain lagi seperti kesen-jangan diantara keadaan-keadaan, hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang diatur oleh hukum formal tersebut.

Haruslah diakui, apa yang terdapat dalam sistem hukum formal itu tidak dimaksudkan untuk meredam keadaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dimaksudkan untuk mebatasi dan merubahnya. Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari bahan -bahan yang diaturnya. Dalam hal ini kesenjangan yang terjadi adalah antara hukum yang mengatur dan bahan yang diaturnya.

Tuntutan terhadap terjadinya perubahan hukum, mulai timbul manakala kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Tingkat yang demikian itu bisa ditandai oleh tingkah laku anggota masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban yang dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan. Sehingga terdapat suatu jurang yang memisahkan antara tanggapan hukum di satu pihak dan masyarakatnya, dilain pihak mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan[7].

Perubahan hukum formal, dapat dilihat dari segi yang berhubungan dengan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh hukum, menyangkut pengertian hukum sebagai sarana pengintegrasian, yang kemudian lebih dijabarkan lagi ke dalam fungsinya yang berlainan seperti fungsi kontrol sosial. Dengan terjadinya perubahan-perubahan, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik-konflik serta kepincangan-kepincangan yang mungkin timbul, tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat.

Penyesuaian diri hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak yang tidak perlu diragukan lagi, namun apabila kita dihadapkan pada peranan hukum melakukan kontrol sosial, masih dipertanyakan mengenai kemampuan hukum untuk menjalankan perannya yang demikian itu; karena hukum sebagai sarana kontrol sosial dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan perubahan dalam masyarakat sehinga mampu mengikuti perubahan yang sedang terjadi[8].

Perubahan terhadap hukum dapat dilakukan melalui pembangunan hukum, yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positip sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangan yang mutakhir; dan sebagai usaha untuk memfungsionalkan (memberdayakan) hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun[9].

Pembangunan hukum merupakan suatu usaha yang tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam suatu konteks tertentu, dalam hal ini adalah perubahan sosial dan modernisasi. Apakah akan dilihat sebagai usaha untuk melakukan perombakan masyarakat atau sebagai perubahan dari sistem hukum sendiri, kedua-duanya dibatasi oleh perubahan sosial yang terjadi.

Masalah lain yang cukup mendasar kaitannya dengan pembangunan hukum adalah konsep pembangunan hukum, yang meliputi lembaga-lembaga, peraturan-peraturan, kegiatan dan orang-orang yang terlibat di dalam pekerjaan hukum. Dalam hal ini, untuk dapat menciptakan perubahan-perubahan sesuai dengan struktur masyarakat yang diinginkan, hukum harus dilihat sebagai usaha besama yang pada akhirnya membuahkan hasil.

Konsep pembangunan hukum, apabila hendak dirinci, memiliki unsur-unsur:

1.Pembuatan peraturannya sendiri.

2.Penyampaian isi peraturan.

3.Kesiapan aparat pelaksana untuk menjalankan perannya.

4.Kesiapan warga negara untuk berbuat sesuai dengan peran masing-masing.

6.Pengamatan mengenai bekerjanya hukum itu dalam masyarakat sehari-hari[10].

Namun perlu diingat, dalam keseluruhan proses pembangunan selalu timbul berbagai kerawanan dan konflik karena munculnya berbagai benturan kebutuhan, kepentingan dan pandangan hidup masyarakat. Disinilah Hukum berperan sebagai sarana untuk mencegah konflik atau apabila konflik itu sudah terlanjur terjadi, hukum berperan sebagai sarana untuk menyelesaikan atau mengatasi konflik dengan cara damai dan tertib.

Tantangan yang dihadapi hukum setelah adanya perubahan masyarakat adalah perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Untuk itu diperlukan penyesuaian dalam sistem dan pranata hukum nasional yang tanggap terhadap perkembangan dunia, yang berubah dengan cepat serta dinamika dan aspirasi masyarakat yang berkembang.

Beban-beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan baru dalam masyarakat akibat terjadinya perubahan dan perkembangan, menempatkan peranan hukum yang mendasar sebagai sarana pembaharuan[11].


Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.[12]

Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[13]


Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.[14]



Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.


Proses Hukum yang adil (layak)

Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak[15].

Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak[16].

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat[17].

Dengan keberadaan UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah meniti suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab.

Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain[18].


Model Integrated Criminal Justice System
Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial.[19]



Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.

Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial.

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana, ialah :[20]

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

c. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”

Komponen - komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan[21]. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated criminal justice system”.[22]
Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :[23]



1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.[24] Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.[25]

Mardjono Reksodiputro[26] dengan gambaran bekerjanya system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:

a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

b) kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub system); dan

c) karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidana[27].

Menteri Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan bersama.”


Modernisasi Sistem Peradilan

Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi yang memunculkan fenomena baru berupa globalisasi, menuntut perubahan struktur hubungan-hubungan hukum (legal stucture), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) maka akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, akan menjadi tidak pasti, tidak tertib serta tidak terlindung. Sebabnya adalah penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full anforcement).

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.[28]

Dalam era modernisasi dan globalisasi inilah sistim hukum ditantang untuk berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (integrative mechanism) yang dapat mempersatukan berbagai dimensi kepentingan : (a) Antar kepentingan internal bangsa, (b) Antar kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, (c) Antar sektor kehidupan nasional.[29]

Hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “Local Characteristics” seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum.[30]

Disadari ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, adalah sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[31]

Diantara faktor-faktor tersebut di atas, maka faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebsbkan oleh karena undang-undang disusun disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat.[32]

Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistim peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistim, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.[33]

Salah satu cara untuk melaksanakan modernisasi sistim peradilan pidana adalah dengan membangun sebuah model. Menurut pendapat Herbert Packer, pendekatan normatif dibedakan ke dalam dua model, yaitu : crime control model dan due prosess model.[34]

Sedangkan menurut Muladi, model sistim peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah yang mengacu kepada : “daad-dader strafrecht” yang disebut : model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.[35]

Persepsi para pendukung crime control model dan due prosess model terhadap proses peradilan pidana adalah bahwa proses tersebut tidak lain merupakan suatu “decision making”. Crime control model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive leniency” sedangkan due prosess model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan persamaan.[36] Pada intinya perbedan dua model ini berkisar pada bagaimana mengendalikan pengambilan keputusan agar dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.


Penutup

Secara umum penegakan hukum hanya dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.[37]

Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistim peradilan pidana.

Penegakan hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik, sehingga penegakan hukum secara aktual (actual enforcement) harus dilihat sebsgsi bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memberikan umpan balik yang positif.[38]



DAFTAR PUSTAKA


Atmasasmita, Romli. 1996.Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996.

Coffey, Alan. 1974. An Introduction to the Criminal Justice System and Process, Prentice-Hall, Inc Englewood Cliffs. New Jersey.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

--------. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

-------------------. 1997. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

-------------------. 1994. Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

------------------.1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. dalam HAM dan SPP Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

-----------------. 1980. Hukum dan Masyarakat. Aksara Bandung.

-----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung.

Shikita, Minoru. 1982. Integrated Approach to Effective Adminstration of Criminal and Juvenile Justice. dalam Criminal Justice in Asia. The Quest For an Integrated Approach. Unafei.

Soemitro,Ronny Hanityo.1984. Permasalaha n Hukum di Dalam Masyarakat. Alumni Bandung.

---------------------, 1998. Politik, Kekuasaan dan Hukum, Badan Penerbit Univ. Diponegoro Semarang,

Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Hartono, Sunaryati. 1993. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum dalam PJPT II. Majalah Pro Justitia No. 4/XI.


[1] Ronny Hanityo Soemitro, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Badan Penerbit Univ. Diponegoro Semarang, 1998, hal.105.

[2] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum NAional, Rajawali. Jakarta. 1996. hal27

[3] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Aksara Bandung, 1980 hal 99

[4] Dikutip oleh Ronny Hanityo Soemitro dalam Permasalahan Hukum di Dalam Masyarakat, Alumni Bandung, 1984, hal 112-113

[5] Satjipto Rahardjo, Ibid.

[6] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983 hal 56-59

[7] Pendapat ini berasal dari Dror (Dror Yehezkel, 1971:Law and Sosial Changes), seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, ibid.

[8] Parson menganggap hal ini merupakan usaha untuk menciptakan suatu keadaan yang terintegrasi dengan baik kembali, seperti dikutip oleh Satjipto Rahardjo, dalam Hukum dan Perubahan Sosial, 1984:62-65.

[9] Ibid. hal.232-233.

[10] Ibid.

[11] Sunaryati Hartono, Politik Hukum dan Pembangunan Hukum dalam PJPT II, Majalah Pro Justitia No. 4/XI/1993

[12] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam HAM dan SPP, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal. 84.

[13] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung Tahun 1981, hal. 121.

[14] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, Tahun 1995, hal. 16.

[15] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal 8

[16] Ibid, hal 9

[17]Ibid, hal 6.

[18] Romli, loc-cit, hal 39.

[19] Ibid, hal. 17-18.

[20] Romli Atmasasmita, Op cit, hal. 9.

[21]Apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu instrumen kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung didalamnya termasuk pula pembuat undang-undang (Romli Atmasasmita, 1996: Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, hal.24). Lihat pula Alan Coffey dalam An Introduction to The Criminal Justice System and Process: proses peradilan pidana terdiri dari beberapa segmen: Police, Courts, Procution-defence, Correction dan law. (1974:4).

[22] Mardjono Reksodiputro, Ibid. Menurut Muladi, (1995: Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal vii-ix) ketepaduan sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku dan korban kejahatan; harus mengandung gerak yang sistemik dari subsistem pendukung yang secara keseluruhan merupakan kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan menjadi keluaran sesuai dengan tujuan sistem peradilan pidana yaitu berupa resosialisasi (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang) .

[23] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta Bandung, Tahun 1996, hal. 17.

[24] Muladi, Op cit, hal. 25.

[25] Ibid, hal. 15.

[26] Dalam Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana, ) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal 141

[27] Minoru Shikita, Integrated Approach to Effective Adminstration of Criminal and Juvenile Justice, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest For an Integrated Approach, Unafei, 1982. hal 34

[28] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, tahun 1997, hal. 58.

[29] Ibid, hal. 60.

[30] Ibid, hal. 63.

[31] Soerjono Soekanto, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5.

[32] Ibid, hal. 53.

[33] Romli Atmasasmita, Op cit hal. 39-40.

[34] Ibid, hal. 18.

[35] Ibid, hal. 22.

[36] Ibid, hal. 21.

[37] Muladi, Op-cit hal 18.

[38] Muladi, Ibid

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

1. Sejarah dan latar belakang terbentuknya Perbandingan Hukum dalam Ilmu Hukum yaitu sejak studi perbandingan hukum telah dimulai ketika Aristoteles (384-322 SM) melakukan penelitian terhadap 153 konstitusi Yunani dan beberapa kota lainnya yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Politics. Solon juga melakukan melakukan penelitian atau studi perbandingan hukum ketika menyusun hukum Athena (650-558 SM). Studi perbandingan hukum berlanjut pada abad pertengahan dimana dilakukan studi perbandingan antara hukum Kanonik dan hukum Romawi, dan pada abad 16 di Inggris telah memperdebatkan kegunaan hukum Kanonik dan hukum Kebiasaan. Studi perbandingan tentang hukum kebiasaan di Eropa pada waktu itu telah dijadikan dasar penyusunan asas-asas hukum perdata (ius civile) di Jerman. Montesquieu telah melakukan studi perbandingan untuk menyusun suatu asas-asas umum dari suatu pemerintahan yang baik. Perkembangan perbandingan hukum sebagai ilmu, relatif baru dimana istilah comparatif law atau droit compare baru dikenal dan diakui penggunaannya yang dimulai di daerah Eropa. Perkembangan pesat perbandingan hukum menjadi cabang khusus dalam studi ilmu hukum adalah bagian kedua pertengahan abad ke-18 yaitu yang dikenal sebagai era kodifikasi. Perkembangan pengakuan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum baru menghadapi kendala-kendala, antara lain disebabkan telah berabad lamanya, ilmu hukum yang sesuai dengan perintah Tuhan dan bersumber pada hukum alam (natural law) serta mencapai cita kelayakan, dan sangat kurang memperhatikan hukum dalam kenyataan atau penerapan hukum. Studi tentang hukum positif ketika itu diabaikan di perguruan tinggi, yang hanya mengajarkan hukum Romawi dan hukum Kanonik. Pada bagian terakhir dari abad ke-19 perbandingan hukum mulai disukai sebagai cara untuk membandingkan hukum-hukum di Eropa daratan, sejalan dengan memudarnya perhatian terhadap ius commune yang mengajarkan eksistensi hukum yang bersifat universal, serta lahirnya nasionalisme dalam bidang hukum yang ditandai oleh berperannya kodifikasi. Kodifikasi hukum pertama setelah munculnya nation state, terjadi di Perancis, dikenal dengan Code de Napoleon. Nasionalisasi hukum tersebut dipengaruhi oleh Von Savigny, seorang tokoh aliran sejarah hukum. Sekalipun pengakuan terhadap perbandingan hukum sebagai disiplin hukum terjadi pada abad ke 19, akan tetapi perkembangan yang sangat pesat terjadi pada abd ke-20. Pertanyaan mendasar yang dikembangkan pada abad ke-19 adalah sebagai berikut:

a. Tujuan dan sifat perbandingan hukum ;

b. Kedudukan perbandingan hukum dalam kerangka ilmu hukum;

c. Karakteristik dan metode perbandingan hukum;

d. Kemungkinan penerapannya dan kegunaan yang bersifat umum ; dan

e. Kontroversi tentang perbandingan hukum yang berdiri sendiri dan perbandingan hukum sebagai metode.

Maka didalam konteks kerangka ilmu hokum, kedudukan perbandingan hukum (perbandingan hukum pidana) sebagai disiplin hukum merupakan salah satu ilmu kenyataan hukum, disamping sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum.



2. Kita membutuhkan ilmu perbandingan hukum dikarenakan (menurut Van Apeldorn) beberapa tujuannya berikut :

a. Tujuan yang bersifat teoritis yaitu untuk menjelaskan hukum sebagai gejala dunia (universal) dan oleh karena itu ilmu pengetahuan hukum harus dapat memahami gejala dunia tersebut. Dan untuk itu harus dipahami hukum di masa lampau dan hukum di masa sekarang.

b. Tujuan yang bersifat praktis yaitu merupakan alat pertolongan untuk tertib masyarakat dan pembaharuan hukum nasional serta memberikan pengetahuan berbagai peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang, juga hakim.

c. Tujuan yang bersifat politis yaitu mempelajari perbandingan hukum untuk mempertahankan “status quo” dimana tidak ada maksud sama sekali mengadakan perubahan mendasar di Negara yang berkembang.

d. Tujuan yang bersifat pedagogis yaitu untuk memperluas wawasan mahasiswa sehingga mereka dapat berpikir inter dan multi disiplin, serta mempertajam penalaran dalam mempelajari hukum asing.

Menurut Soedarto bahwa kegunaan studi perbandingan hukum yaitu:

a. Unifikasi hukum yaitu, adanya kesatuan hukum sebagiamana telah diwujudkan dalam konvensi hak cipta 1886 dan General Postal Convention, 1894 dan konvensi internasional lainnya.

b. Harmonisasi hukum yaitu, hukum tetap dapat berdiri sendiri namun berjalan beriringan.

c. Mencegah chauvinisme hukum nasional yaitu kita dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang hukum nasional yang berlaku sehingga kita mawas diri akan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada hukum pidana positif sehingga kita tidak melebih-lebihkan hukum nasional dan mengesampingkan hukum asing.

d. Memahami hukum asing

Misalnya : apabila Negara Kesatuan Republik Indonesia hendak mengadakan perjanjian internasional dengan Negara lain, lalu timbul kemudian masalah, maka untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut pihak NKRI mau tidak mau harus paham akan system hukum Negara yang menjadi lawannya (dalam sengketa).


3. Perdebatan antara kedudukan hukum sebagai metode dan ilmu masih berlangsung sampai sekarang. Beberapa pendapat pakar yang menyebutkan hukum sebagai metode ialah sebagai berikut :

a. Winerton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yang membandingkan system-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data system hukum yang dibandingkan;

b. Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang hukum tertentu;

c. Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang ilmu hukum;

Beberapa pendapat pakar yang menyebutkan perbandingan hukum sebagai ilmu ialah sebagai berikut :

a. Soedarto, berpendapat bahwa perbandingan hukum merupkan cabang dari ilmu hukum dan karena itu lebih tepat menggunakan istilah perbandingan hukum dari istilah hukum perbandingan.

b. Lemaire, mengemukakan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan mempunyai lingkup kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya;

c. Ole Lando, mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup analysis dan comparison of laws;

d. Hessel Yutema, mengemukakan definisi perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari ilmu sosial atau seperti cabang ilmu lainnya yang bersifat universal;


Kesimpulannya, kedudukan perbandingan hukum tersebut muncul sebagai metode dan ilmu berdasarkan masanya sehingga ada juga kebenaran dari para pendapat tersebut. Namun perbandingan hukum sebagai ilmu lebih tepat dikarenakan lebih relevan dengan perkembangan masyarakat masa kini karena perbandingan hukum tidak hanya semata-mata sebagai alat untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dua system hokum yang berbeda satu sama lain, melainkan sudah merupakan studi tersendiri yang mempergunakan metode dan pendekatan khas yaitu metode perbandingan, sejarah dan sosiologis serta objek pembahasan tersendiri yaitu system hukum asing tertentu.



4. System Juri merupakan ciri khas dari Common Law yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri kecuali untuk alasan-alasan tertentu seperti adanya conflict interest atau mengenal terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung. Di US, Canada dan beberapa negara di Eropa memakai Sistem juri. Tim juri terdiri dari 12 orang awam, yang harus mendaftar, kemudian mengikuti tes psikologi. Lalu setelah lulus tes psikologi, akan dipilih 14 orang (2 orang cadangan) untuk “diwawancarai” oleh Pengacara, Jaksa dan Hakim. Umumnya wawancara mengacu kepada latar belakang juri, hubungan juri dengan terdakwa atau pendapat mereka tentang kasus tersebut. Bisa juga hanya sekedar perasaan tidak suka Pengacara atau Jaksa secara personal terhadap juri tersebut, mulai dari wajahnya, rasnya, senyumnya, atau hal-hal lain yang personal (disebut sebagai “based on cause”). Baik Pengacara, Jaksa dan Hakim punya hak untuk mengatakan tidak setuju dengan juri tersebut. Tapi khusus untuk Pengacara dan Jaksa, tentunya harus cerdik dalam hal mengeluarkan anggota juri, karena mereka harus berstrategi, kira-kira juri mana yang pro pada mereka. Bila Pengacara tidak setuju dengan salah satu juri, maka Jaksa tidak punya hak untuk memanggil juri itu kembali. Begitu pula sebaliknya. Pekerjaan jadi Juri sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. Para Juri hanya dibayar USD 50 per hari, dengan jam kerja tidak jelas, tergantung dengan lama tidaknya sidang, ditambah lagi rapat-rapat internal berhubungan dengan sidang. Tentu dapat dibayangkan, kualitas personal dari para Juri ini seperti apa. Hal tersebut pula yang menjadi salah satu isu hukum di US, kualitas para Juri. Rata-rata orang tidak mau jadi juri, karena bayarannya kecil dan hanya duduk seharian di kursi. Dalam mengambil keputusan, keduabelas juri tersebut harus bersama-sama (suara mutlak atau tak boleh berpecah suara) mengatakan “guilty” atau “not guilty.” Tidak terdapat voting di dalam system Juri.



5. Asas the binding force of precedent (kekuatan mengikat dari preseden atau putusan sebelumnya mengenai kasus yang sejenis) pada common law system memiliki peran yang penting karena hakim tunduk pada keputusan-keputusan hakim terdahulu mengenai kasus yang sejenis. Jika ada kasus yang sama maka untuk membuat keputusan, hakim harus melihat keputusan kasus sebelumnya dan kemudian menjatuhkan hukuman. Keputusan hakim terdahulu itu menjadi dasar bagi hakim untuk memberi putusan. Dalam praktik sehari-hari asas preseden ini tidak lagi murni diterapkan karena sukar dalam pola penerapannya walaupun sangat penting sifatnya.


Dalam keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari
para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam
menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian sumber
hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih
kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang
yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan
hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas
kasus yang dihadapi. Cara berpikir pragmatis ini mengarahkan hakim-hakim dari
keluarga sistem common law untuk meletakkan nilai kemanfaatan (daya guna,
Zweckmäßigkeit) pada tempat pertama. Kemanfaatan di sini tentu pertama-tama dilihat
dari optik kepentingan para pihak yang bersengketa, namun konsep “pihak” di sini dapat
saja diperluas, khususnya dalam sengketa hukum publik.
Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common law.
Demikian juga dengan eksistensi pranata equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law. Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat prinsipiil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.



6. Perbedaan antara Civil Law dan Common Law

Sistem hukum Civil Law yakni sebagai berikut :

a. Ciri khas system hukum ini adalah adanya penghimpunan dari berbagai ketentuan hukum (kodifikasi) secara sistematis yang pada prakteknya ketentuan-ketentuan ini akan ditafsirkan lebih lanjut. Dalam civil law peraturan hukum yang telah dikodifikasikan berlaku sebagai undang-undang dan merupakan pedoman penegakan hukum dalam Negara.

b. Kodifikasi merupakan sumber hukum materill yang kemudian dijadikan dasar dalam menyelesaikan permasalahan melalui hukum formil

c. Pengambil keputusan dalam civil law adalah hakim atau mejelis hakim yang memeriksa perkara tersebut. Selsain itu hakim bersifat aktif dalam persidangn dan memutus perkara berdasarkan undang-undang yang berlaku disertai keyakinan hakim itu sendiri dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

d. Selain keyakinan hakim doktrin juga merupakan factor penting yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara

e. Pada civil law Yurisprudensi tidak terlalu dipertimbangkan tetapi dapat dipergunakan sebagai bahan acuan atau referensi.

f. Civil Law menggunakan logika berpikir metode deduktif

System hukum Common Law yakni sebagai berikut :

a. System hukumnya didasarkan pada yurisprudensi yaitu keputusan-keputuasan hakim yang terdahulu menjadi dasar putusan-putusan hakim selanjutnya

b. Dalam coomon law dikenal stare decisis, yaitu suatu prinsip hukumj yang menyatakan bahwa pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti keputusan pengadilan yang lebih tinggi

c. Dalam common law tidak ada kodifikasi hukum. Dalam pengambilan keputusan suatu perkara yurisprudensi merupakan dasar yang paling utama

d. Case Law atau pengumpuilan kasus-kasus preseden yang berkaitan dengan perkara sangat penting dalam common law

e. System common law mengenal system juri yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam persidangan suatu perkara

f. System Common Law merupakan system hukum yang memakai logika berpikir induktif dan analogi.


7. Adversarial system mengandung pengertian bahwa modus untuk menemukan kebenaran adalah melalui “benturan” argumentasi dari pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung yang diajukan para pihak tersebut. Dari kata “adversary” itu berarti pihak-pihak tidak dalam satu persekutuan (ally) tapi dalam posisi yang berlawanan (opponent). Hazel B. Kerper secara lengkap mendeskripsikan adversary model dengan menyatakan, “system which arrives at a decision by : (1) having each side to a dispute present its best case and, (2) then permitting a neutral decision maker to determine the facts and apply the law in light of the opposing presentation of two sides. Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian satu perkara sampai pada putusan adalah setelah melalui proses. Jadi tekanannya adalah pada proses bukan pada hasil atau putusan, dimana dalam proses ini kedua belah pihak yang berperkara mempresentasikan semaksimal mungkin “best case-nya”. Artinya pihak-pihak mengajukan bukti-bukti dan argumentasi hukum tanpa ada pembatasan. Selanjutnya, para pihak tersebut menyerahkan pada “a neutral” untuk memeriksa fakta-fakta dan hukumnya dari semua yang disampaikan oleh pihak-pihak dalam perkara. “a neutral” ini adalah hakim dan juri. Selama proses persidangan hakim bersifat pasif, tapi kedua belah pihak yang berperkara-lah yang aktif. Hakim hanya akan memfokuskan pada tata-tertib persidangan utamanya bila ada keberatan dari salah satu pihak.
Gambaran dari pengadilan yang menganut adversary model ini adalah :

(1) Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang berperkara;
(2) Adanya aturan-aturan yang melindungi terdakwa selama proses dari kesewenang-wenangan kekuasaan;
(3) Adanya proses yang mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan;
(4) Adanya praduga tidak bersalah.

Menentukan Fakta-fakta (kesalahan) adalah wewenang juri, sementara hukumnya tugas yang akan dilengkapi oleh hakim. Sistem ini umumnya berlaku di negara yang menganut Common Law.

Non Adversarial System
Secara harfiah kata non adversary adalah sebaliknya dari adversary, yakni tidak berlawanan, jadi para pihak di pengadilan itu sekutu (ally). Secara lebih lengkap dapat dirumuskan bahwa non adversary model adalah satu modus untuk menemukan kebenaran materiil dari satu perkara pidana melalui proses penyidikan yang dilakukan agak tertutup yang kemudian pembuktian kasusnya dilakukan di pengadilan dengan cara “terpimpin”. Dengan demikian, pengadilan akan menentukan fakta-fakta hukum yang dianggap terbukti dan menentukan hukum yang dapat diterapkan terhadap fakta itu. Oleh karena tertutup dan terpimpin proses pemeriksaannya, maka non adversary system ini disebut juga dengan the inquisitorial procedure. Oleh karena proses terpimpin, maka dalam sistem ini dengan sendirinya tidak dikenal pihak “a neutral” dalam mengambil keputusan seperti dalam non adversary system. Dalam non adversary system, semua aspek dari peradilan itu menjadi tanggung jawab hakim. Kedua belah pihak, dalam hal ini jaksa dan penasehat hukum, dapat saja mengajukan bukti-bukti tapi semua bukti-bukti itu tidak dengan sendirinya mengikat hakim. Dalam persidangan, kedua belah pihak mengajukan pertanyaan hanya melalui perantaraan hakim. Bahkan hakim dapat menolak pertanyaan yang diajukan dengan alasan pertanyaan itu tidak relevan atau memerintahkan mengganti dengan pertanyaan yang lain. Dalam sistem ini, untuk sampai pada putusan pengadilan tidak memperkenalkan benturan argumentasi dari kedua-belah pihak tapi hakim cukup mencari ada dua alat bukti saja ditambah keyakinan dari hakim. Dengan begitu seseorang sudah dapat dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum. Dibandingkan dengan adversary model yang menekankan pada due process, maka non adversary model menekankan pada crime control, dimana gambaran dari proses pengadilannya adalah :
(1) Mengabaikan pengawasan hukum (disregard legal control).
(2) Secara diam-diam berpraduga bersalah.
(3) Dengan hukuman tinggi.
(4) Dukungan pada polisi.

Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan yang dianut Indonesia ialah mengikuti non adversary model (Civil Law System).


8. Penerapan system juri dalam peradilan pidana Indonesia yakni Tidak ada sytem yang bebas dari cacat. Sistem juri maupun sistem hakim, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Sejak sistem kita memberi kekuasaan besar kepada hakim, sebaiknya didorong agar menghasilkan putusan-putusan yang progresif. Dalam hokum system kita, putusan akhirnya diserahkan kepada hakim dan ia akan memutus berdasar keyakinannya. Apa pun yang dikemukakan oleh jaksa, advokat, dan terdakwa dalam persidangan, kata putus terakhir ada pada hakim. Jika sudah begini, dimensi persoalan sebenarnya tidak lagi murni hukum, tetapi psikologis. Predisposisi psikologis hakim menentukan kualitas putusan. Siapa hakimnya, berapa usianya, bagaimana latar belakang sosial, ekonomi, kulturalnya, bagaimana pendidikan, dan lain menjadi acuan penting. Ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) banyak meneliti masalah ini, yaitu predisposisi psikologis hakim dihubungkan dengan putusannya. Sehingga menurut saya tetap saja dipertahankan system hakim yang telah ada. Hal yang terpenting tanpa adanya system juri karena mungkin justru nantinya jadi mengacau proses peradilan karena adanya system baru yang diterapkan di Indonesia. Hal yang perlu dibenahi adalah sikap karakter intelektual dan moral dari hakim kita saat ini demi terciptanya putusan yang adil.