Selasa, 10 November 2009

Modernisasi Sistem Peradilan Pidana

Pendahuluan
Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum[1]. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar system hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Dengan demikian tinjauan perkembangan hukum difokuskan pada hubungan timbal balik antara diferensiasi hukum dengan diferensiasi sosial yang dimungkinkan untuk menggarap kembali peraturan-peraturan, kemampuan membentuk hukum, keadilan dan institusi penegak hukum. Diferensiasi itu sendiri merupakan ciri yang melekat pada masyarakat yang tengah mengalami perkembangan[2].

Melalui diferensiasi ini suatu masyarakat terurai ke dalam bidang spesialisasi yang masing-masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan yang otonom.
Perkembangan demikian ini menyebabkan susunan masyarakat menjadi semakin komplek. Dengan diferensiasi dimungkinkan untuk menimbulkan daya adaptasi masyarakat yang lebih besar terhadap lingkungannya.

Sebagai salah satu sub-sistem dalam masyarakat, hukum tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi masyarakat. Hukum disamping mempunyai kepentingan sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat terikat pada bahan-bahan yang disediakan oleh masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di sekelilingnya.[3]



Menurut Wolfgang Friedmann[4] perubahan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah meliputi perubahan hukum tidak tertulis (common law), perubahan di dalam menafsirkan hukum perundang-undangan, perubahan konsepsi mengenai hak milik umpamanya dalam masyarakat industri moderen, perubahan pembatasan hak milik yang bersifat publik, perubahan fungsi dari perjanjian kontrak, peralihan tanggung jawab dari tuntutan ganti rugi ke ansuransi, perubahan dalam jangkauan ruang lingkup hukum internasional dan perubahan-perubahan lain.
Untuk melihat hubungan antara hukum dan perubahan sosial perlu sebuah alat dalam bentuk konsep yang menjelaskan secara fungsional tempat hukum dalam masyarakat. Alat tersebut menunjukkan pekerjaan hukum sebagai 1)merumuskan hubungan antara anggota masyarakat dengan menentukan perbautan yang dilarang dan yang boleh dilakukan; 2) mengalokasikan dan mnegaskan siapa yang boleh menggunakan kekuasaan, atas siapa dan bagaimana prosedurnya serta 3)mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala terjadi perubahan[5]



Apabila hukum itu dipakai dalam arti suatu bentuk karya manusia tertentu dalam rangka mengatur kehidupannya, maka dapat dijumpai dalam berbagai lambang. Diantara lambang tersebut yang paling tegas dan terperinci mengutarakan isinya adalah bentuk tertulis atau dalam lebih sering dikenal dengan bentuk sistem hukum formal[6].

Segi yang menandai bentuk yang demikian adalah terdapatnya kepastian dalam norman-normanya dan segi yang lainnya adalah kekakuan. Kepastian hukum memang banyak disebabkan karena sifat kekakuan bentuk pengaturan ini dan gilirannya menyebabkan timbulnya keadaan yang lain lagi seperti kesen-jangan diantara keadaan-keadaan, hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang diatur oleh hukum formal tersebut.

Haruslah diakui, apa yang terdapat dalam sistem hukum formal itu tidak dimaksudkan untuk meredam keadaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dimaksudkan untuk mebatasi dan merubahnya. Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari bahan -bahan yang diaturnya. Dalam hal ini kesenjangan yang terjadi adalah antara hukum yang mengatur dan bahan yang diaturnya.

Tuntutan terhadap terjadinya perubahan hukum, mulai timbul manakala kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Tingkat yang demikian itu bisa ditandai oleh tingkah laku anggota masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban yang dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan. Sehingga terdapat suatu jurang yang memisahkan antara tanggapan hukum di satu pihak dan masyarakatnya, dilain pihak mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan[7].

Perubahan hukum formal, dapat dilihat dari segi yang berhubungan dengan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh hukum, menyangkut pengertian hukum sebagai sarana pengintegrasian, yang kemudian lebih dijabarkan lagi ke dalam fungsinya yang berlainan seperti fungsi kontrol sosial. Dengan terjadinya perubahan-perubahan, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik-konflik serta kepincangan-kepincangan yang mungkin timbul, tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat.

Penyesuaian diri hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak yang tidak perlu diragukan lagi, namun apabila kita dihadapkan pada peranan hukum melakukan kontrol sosial, masih dipertanyakan mengenai kemampuan hukum untuk menjalankan perannya yang demikian itu; karena hukum sebagai sarana kontrol sosial dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan perubahan dalam masyarakat sehinga mampu mengikuti perubahan yang sedang terjadi[8].

Perubahan terhadap hukum dapat dilakukan melalui pembangunan hukum, yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positip sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangan yang mutakhir; dan sebagai usaha untuk memfungsionalkan (memberdayakan) hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun[9].

Pembangunan hukum merupakan suatu usaha yang tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam suatu konteks tertentu, dalam hal ini adalah perubahan sosial dan modernisasi. Apakah akan dilihat sebagai usaha untuk melakukan perombakan masyarakat atau sebagai perubahan dari sistem hukum sendiri, kedua-duanya dibatasi oleh perubahan sosial yang terjadi.

Masalah lain yang cukup mendasar kaitannya dengan pembangunan hukum adalah konsep pembangunan hukum, yang meliputi lembaga-lembaga, peraturan-peraturan, kegiatan dan orang-orang yang terlibat di dalam pekerjaan hukum. Dalam hal ini, untuk dapat menciptakan perubahan-perubahan sesuai dengan struktur masyarakat yang diinginkan, hukum harus dilihat sebagai usaha besama yang pada akhirnya membuahkan hasil.

Konsep pembangunan hukum, apabila hendak dirinci, memiliki unsur-unsur:

1.Pembuatan peraturannya sendiri.

2.Penyampaian isi peraturan.

3.Kesiapan aparat pelaksana untuk menjalankan perannya.

4.Kesiapan warga negara untuk berbuat sesuai dengan peran masing-masing.

6.Pengamatan mengenai bekerjanya hukum itu dalam masyarakat sehari-hari[10].

Namun perlu diingat, dalam keseluruhan proses pembangunan selalu timbul berbagai kerawanan dan konflik karena munculnya berbagai benturan kebutuhan, kepentingan dan pandangan hidup masyarakat. Disinilah Hukum berperan sebagai sarana untuk mencegah konflik atau apabila konflik itu sudah terlanjur terjadi, hukum berperan sebagai sarana untuk menyelesaikan atau mengatasi konflik dengan cara damai dan tertib.

Tantangan yang dihadapi hukum setelah adanya perubahan masyarakat adalah perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Untuk itu diperlukan penyesuaian dalam sistem dan pranata hukum nasional yang tanggap terhadap perkembangan dunia, yang berubah dengan cepat serta dinamika dan aspirasi masyarakat yang berkembang.

Beban-beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan baru dalam masyarakat akibat terjadinya perubahan dan perkembangan, menempatkan peranan hukum yang mendasar sebagai sarana pembaharuan[11].


Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.[12]

Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[13]


Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.[14]



Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.


Proses Hukum yang adil (layak)

Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak[15].

Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak[16].

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat[17].

Dengan keberadaan UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah meniti suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab.

Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain[18].


Model Integrated Criminal Justice System
Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial.[19]



Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.

Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial.

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana, ialah :[20]

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

c. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”

Komponen - komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan[21]. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated criminal justice system”.[22]
Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :[23]



1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.[24] Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.[25]

Mardjono Reksodiputro[26] dengan gambaran bekerjanya system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:

a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

b) kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub system); dan

c) karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidana[27].

Menteri Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan bersama.”


Modernisasi Sistem Peradilan

Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi yang memunculkan fenomena baru berupa globalisasi, menuntut perubahan struktur hubungan-hubungan hukum (legal stucture), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) maka akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, akan menjadi tidak pasti, tidak tertib serta tidak terlindung. Sebabnya adalah penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full anforcement).

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.[28]

Dalam era modernisasi dan globalisasi inilah sistim hukum ditantang untuk berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (integrative mechanism) yang dapat mempersatukan berbagai dimensi kepentingan : (a) Antar kepentingan internal bangsa, (b) Antar kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, (c) Antar sektor kehidupan nasional.[29]

Hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “Local Characteristics” seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum.[30]

Disadari ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, adalah sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[31]

Diantara faktor-faktor tersebut di atas, maka faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebsbkan oleh karena undang-undang disusun disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat.[32]

Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistim peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistim, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.[33]

Salah satu cara untuk melaksanakan modernisasi sistim peradilan pidana adalah dengan membangun sebuah model. Menurut pendapat Herbert Packer, pendekatan normatif dibedakan ke dalam dua model, yaitu : crime control model dan due prosess model.[34]

Sedangkan menurut Muladi, model sistim peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah yang mengacu kepada : “daad-dader strafrecht” yang disebut : model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.[35]

Persepsi para pendukung crime control model dan due prosess model terhadap proses peradilan pidana adalah bahwa proses tersebut tidak lain merupakan suatu “decision making”. Crime control model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive leniency” sedangkan due prosess model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan persamaan.[36] Pada intinya perbedan dua model ini berkisar pada bagaimana mengendalikan pengambilan keputusan agar dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.


Penutup

Secara umum penegakan hukum hanya dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.[37]

Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistim peradilan pidana.

Penegakan hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik, sehingga penegakan hukum secara aktual (actual enforcement) harus dilihat sebsgsi bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memberikan umpan balik yang positif.[38]



DAFTAR PUSTAKA


Atmasasmita, Romli. 1996.Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996.

Coffey, Alan. 1974. An Introduction to the Criminal Justice System and Process, Prentice-Hall, Inc Englewood Cliffs. New Jersey.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

--------. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

-------------------. 1997. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

-------------------. 1994. Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

------------------.1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. dalam HAM dan SPP Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

-----------------. 1980. Hukum dan Masyarakat. Aksara Bandung.

-----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung.

Shikita, Minoru. 1982. Integrated Approach to Effective Adminstration of Criminal and Juvenile Justice. dalam Criminal Justice in Asia. The Quest For an Integrated Approach. Unafei.

Soemitro,Ronny Hanityo.1984. Permasalaha n Hukum di Dalam Masyarakat. Alumni Bandung.

---------------------, 1998. Politik, Kekuasaan dan Hukum, Badan Penerbit Univ. Diponegoro Semarang,

Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Hartono, Sunaryati. 1993. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum dalam PJPT II. Majalah Pro Justitia No. 4/XI.


[1] Ronny Hanityo Soemitro, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Badan Penerbit Univ. Diponegoro Semarang, 1998, hal.105.

[2] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum NAional, Rajawali. Jakarta. 1996. hal27

[3] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Aksara Bandung, 1980 hal 99

[4] Dikutip oleh Ronny Hanityo Soemitro dalam Permasalahan Hukum di Dalam Masyarakat, Alumni Bandung, 1984, hal 112-113

[5] Satjipto Rahardjo, Ibid.

[6] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983 hal 56-59

[7] Pendapat ini berasal dari Dror (Dror Yehezkel, 1971:Law and Sosial Changes), seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, ibid.

[8] Parson menganggap hal ini merupakan usaha untuk menciptakan suatu keadaan yang terintegrasi dengan baik kembali, seperti dikutip oleh Satjipto Rahardjo, dalam Hukum dan Perubahan Sosial, 1984:62-65.

[9] Ibid. hal.232-233.

[10] Ibid.

[11] Sunaryati Hartono, Politik Hukum dan Pembangunan Hukum dalam PJPT II, Majalah Pro Justitia No. 4/XI/1993

[12] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam HAM dan SPP, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal. 84.

[13] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung Tahun 1981, hal. 121.

[14] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, Tahun 1995, hal. 16.

[15] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal 8

[16] Ibid, hal 9

[17]Ibid, hal 6.

[18] Romli, loc-cit, hal 39.

[19] Ibid, hal. 17-18.

[20] Romli Atmasasmita, Op cit, hal. 9.

[21]Apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu instrumen kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung didalamnya termasuk pula pembuat undang-undang (Romli Atmasasmita, 1996: Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, hal.24). Lihat pula Alan Coffey dalam An Introduction to The Criminal Justice System and Process: proses peradilan pidana terdiri dari beberapa segmen: Police, Courts, Procution-defence, Correction dan law. (1974:4).

[22] Mardjono Reksodiputro, Ibid. Menurut Muladi, (1995: Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal vii-ix) ketepaduan sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku dan korban kejahatan; harus mengandung gerak yang sistemik dari subsistem pendukung yang secara keseluruhan merupakan kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan menjadi keluaran sesuai dengan tujuan sistem peradilan pidana yaitu berupa resosialisasi (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang) .

[23] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta Bandung, Tahun 1996, hal. 17.

[24] Muladi, Op cit, hal. 25.

[25] Ibid, hal. 15.

[26] Dalam Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana, ) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal 141

[27] Minoru Shikita, Integrated Approach to Effective Adminstration of Criminal and Juvenile Justice, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest For an Integrated Approach, Unafei, 1982. hal 34

[28] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, tahun 1997, hal. 58.

[29] Ibid, hal. 60.

[30] Ibid, hal. 63.

[31] Soerjono Soekanto, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5.

[32] Ibid, hal. 53.

[33] Romli Atmasasmita, Op cit hal. 39-40.

[34] Ibid, hal. 18.

[35] Ibid, hal. 22.

[36] Ibid, hal. 21.

[37] Muladi, Op-cit hal 18.

[38] Muladi, Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar